Kamis, 03 November 2022

OPERASI PENJUMLAHAN DALAM ALQURAN (Teka-Teki Isyarat Mempelajari Matematika)


        Mengenai matematika konsep operasi hitung pada penjumlahan secara umum telah digambarkan dalam Ayat Alquran pada Qs. al-Baqarah/2: 196. [1]

 

(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ÷bÎ*sù öNè?÷ŽÅÇômé& $yJsù uŽy£øŠtGó$# z`ÏB Äôolù;$# ( Ÿwur (#qà)Î=øtrB óOä3yrâäâ 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ßôolù;$# ¼ã&©#ÏtxC 4 `uKsù tb%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& ÿ¾ÏmÎ/ ]Œr& `ÏiB ¾ÏmÅù&§ ×ptƒôÏÿsù `ÏiB BQ$uŠÏ¹ ÷rr& >ps%y|¹ ÷rr& 77Ý¡èS 4 !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& `yJsù yì­GyJs? Íot÷Kãèø9$$Î/ n<Î) Ædkptø:$# $yJsù uŽy£øŠtGó$# z`ÏB Äôolù;$# 4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x. 3 y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 öN©9 ô`ä3tƒ ¼ã&é#÷dr& ÎŽÅÑ$ym ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# [2]ÇÊÒÏÈ

Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

 

a.       Ashbab Al-Nuzul

Mahali menuliskan bahwa[3], dalam Hadis riwayat Ibnu Abi Hatim dari Shafwan ibn Umayyah bahwa pada suatu waktu ada seseorang laki-laki yang berjubah dan memakai wewangian za’rafan yang semerbak baunya datang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang harus aku lakukan dalam menunaikan ibadah umrah” sehubungan dengan itu turunlah al-baqarah ayat 196. Kemudian Rasullah Saw. bersabda, “manakah orang yang bertanya tadi”. Orang itupun menjawab, “aku wahai Rasulullah”. Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “tanggalkanlah bajumu, bersihkanlah hidungmu, mandilah dengan sempurna, kemudian kerjakanlah apa yang telah biasa kamu lakukan dalam menunaikan ibadah haji”.

Dalam hadis Bukhari dari Ka’ab ibn Ajrah bahwa, suatu ketika Ka’ab ibn Ajrah ditanya tentang firman Allah Swt yang berbunyi: Fafidyaum min shiyaamin au shadaqatin au nusuk ini, kemudian dia menceritakan, bahwa ketika dia sedang melakukan umrah merasakan kepayahan, sebab dirambut dan mukanya berjatuhaan kutu. Pada saat itu Rasululllah melihat penyakit yang ada pada kepala Ka’ab ibn Ajrah tersebut. Sehubungan dengan itu maka turunlah ayat ke 196 sebagai ketegasan tentang penyakit yang menimpa Ka’ab ibn Ajrah itu. Namun demikian ketentuan itu berlaku untuk seluruh umat manusia. Selanjutnya Rasulullah mengajukan pernyataan kepada Ka’ab ibn Ajrah, “Apakah yang kamu punyai, biri-biri atau fidyah?”. Ka’ab ibn Ajrah menjawab, “Aku tidak memiliki biri-biri”. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, berpuasalah tiga hari atau berikanlah makan kepada enam fakir yang setiap orangnya setengah sha’ (1 ½ liter) makanan, dan bercukurlah”.[4]

Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Ya’la ibn Umayyah bahwa, suatu ketika Rasulullah berada di Ji’ranah sedang menjalankan ibadah umrah datang seorang laki-laki mengajukan pertanyaan: “wahai Rasulullah, bagaimana kalau ada seseorang melakukan ibadah umrah sedangkaan dia memakai jubah dan wewangian”. Maka Rasulullah terdiam, tanpa jawaban, sesaat kemudian turunlah wahyu surah al-baqarah ayat 196 ini. Kemudian Rasulullah bersabda, “siapakah gerangan yang mengajukan pertanyaaan tadi?”. Kemudian laki-laki itu menjawab, “saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “jubahnya harus dilepas, wewangian yang dipakai harus dibasuh, dan lakukanlah didalam umrahmu sebagaimana kamu melakukan ibadah haji.[5]

 

b.      Munasabah Ayat

Berdasarkan ilmu munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah, surah al-baqarah ayat 196 ini didahului ayat sebelumnya yang berbicara mengenai membelanjakan harta benda di jalan Allah dan perintah berbuat baik. Titipan harta sekecil apapun memiliki pertanggungjawaban dihadapan Allah. Oleh karena itu, manusia harus selalu berhati-hati dalam menggunakan titipan Allah. Sementara pada awal kalimat al-baqarah ayat 196 yang menyerukan untuk berhaji dan umrah yang juga membutuhkkan harta untuk bisa mengerjakannya.

Setelah al-baqarah ayat 196 ini terdapat ayat setelahnya yang berbicara mengenai musim haji yaitu sudah ditentukan waktunya, yaitu bulan zulhijjah. Beberapa larangan dalam al-baqarah ayat 196 semua yang diperintahkan dan dilarang saat melaksanakan ibadah haji mengandung ilmu dan ujian, tidak ada yang sia-sia. Pada al-baqarah ayat 197 ini ditegaskan bahwa hanya manusia yang bertakwa dan benar-benar ibadahnya dengan niat karena Allah-lah yang akan selalu dibimbing untuk bisa ibadah dijalan yang benar.[6] 

 

c.       Operasi Penjumlahan dalam Kandungan Ayat

Adapun matematika yang disebutkan dalam al-Baqarah ayat 196 adalah penyebutan bilangan serta operasi penjumlahannya. Pada bilangan disebutkan angka tiga, tujuh dan sepuluh.

1)      Tiga

Pada ayat diatas terdapat kata tsalasatin yang berarti tiga; Penyebutan bilangan tiga dalam Alquran terdapat sebanyak 17 kali. Dimana sebagai muannas menggunakan kata tsalasah sebanyak 12 kali tersebar dalam 10 surah, yaitu pada Qs. al-Baqarah/2:196 dan 228, Qs. Ali Imran/3:41, Qs. al-Nisa/4:171, Qs.al-Maidah/5:73 dan 89, Qs. al-Taubah/9:118, Qs. Hud/11:65, Qs. al-Kahfi/18:22, Qs. al-Waqiah/56:7, Qs. al-Mujadilah/58:7, dan Qs. al-Talaq/65:4. Dan sebagai mudzakkar  menggunakan kata tsalasa; sebanyak 5 kali yang tersebar dalam 4 surah, yaitu Qs. Maryam/19:10, dua kali pada Qs. al-Nur/24:58, Qs. al-Zumar/39:6, dan Qs. al-Mursalat/77:30.

Secara umum kata tiga didalam Alquran melambangkan jumlah. Dalam bahasa indonesia tiga berarti hitungan sesudah dua sebelum empat.[7] Dalam matematika, tiga merupakan bagian dari bilangan asli, bilangan cacah dan bilangan prima.

2)      Tujuh

Pada kata sab’atin yang berarti tujuh. Penyebutan bilangan tujuh dalam Alquran terdapat sebanyak 24 kali. Dimana sebagai muannas menggunakan kata sab’ah terdapat sebanyak 4 kali tersebar dalam 4 surah, yaitu Qs. al-Baqarah/2:196, Qs./15;44, Qs. al-Kahfi/18:22, dan Qs. Luqman/31:27. Dan sebagai mudzakkar menggunakan kata sab’a terdapat sebanyak 20 kali tersebar dalam 12 surah, yaitu Qs. al-Baqarah/2:29 dan 261, dalam Qs. Yusuf/9 ; dua kali pada ayat 43, tiga kali pada ayat ke 46, dan masing-masing sekali pada ayat 47 dan 48, Qs. al-Hijr/15:87, Qs. al-Isra/17:44, Qs. al-Mu’minun/23:17 dan 86, Qs. Fussilat/41:12, Qs. al-Thalaq/65:12, Qs. al-Mulk/67:3, Qs. al-Haaqqa/69:7, Qs. Nuh/71:15, dan Qs. al-Naba’/78:12.

Secara umum kata tujuh didalam Alquran melambangkan jumlah. Dalam bahasa indonesia tujuh berarti ukuran panjang untuk benang (1 tukal = 16 rian, 16 tukal = 1 bantal.[8] Dalam matematika, tujuh merupakan bagian dari bilangan asli, bilangan cacah dan bilangan prima.

3)      Sepuluh

Pada ayat tersebut terdapat kata ‘asyarah yang berarti sepuluh. Penyebutan bilangan sepuluh dalam Alquran terdapat sebanyak 9 kali. Dimana sebagai muannas menggunakan kata ‘asyarah terdapat sebanyak 2 kali dalam 2 surah yaitu pada Qs. al-Baqarah/2:196 dan Qs.al-Maidah/5:89. Dan menggunakan kata ‘asyara terdapat sebanyak 7 kali tersebar dalam 7 surah, yaitu Qs. al-Baqarah/2:234, Qs. al-An’am/6:160, Qs. al-A’raf/7:142, Qs. Hud/11:13, Qs.Taha/20:103, Qs. al-Qasas/28:27, dan Qs.al-Fajr/89:2.

Secara umum kata sepuluh didalam Alquran melambangkan jumlah. Dalam matematika, sepuluh merupakan bagian dari bilangan asli dan bilangan cacah.

Konsep operasi penjumlahan pada surah al-Baqarah ayat 196 dilihat dari kalimat ;

 

`yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& Îû Ædkptø:$# >pyèö7yur #sŒÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×'s#ÏB%x. 3 ...

Artinya:... tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

Menurut Hamka[9] bahwa maksud dari “maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji” adalah tiga hari dipuasakan sedang mengerjakan haji. Sesudah hari nahar (hari berhenti di Mina dari haji kesepuluh sampai hari ketigabelas). Pada kalimat dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang’ yakni kampung halaman,[10] Setengah ulama mengatakan boleh dibayar selama dalam kapal. Sebab keadaan dalam kapal di zaman sekarang boleh dikatakan tidak sukar sebagai musafir di darat lagi.[11] Sehingga banyaknya puasa di kedua masa itu itu adalah sepuluh (hari) yang sempurna.

Hamka menjelaskan[12] terkait ayat diatas bahwa ayat ini mengandung syariat haji dan umrah. Ia memaparkan bahwa indahnya susunan perintah ibadah haji, terlebih dahuu diterangkan dari hal puasa. Tetapi sebelum datang perintah puasa terlebih dahulu diperingatkan supaya kaum beriman memakan makanan yang baik kelak setelah mengerjakan puasa akan penting perasaan memakan makanan yang baik bagi pembentukan takwa kepada Allah. Sehabis perintah tentang puasa dengan menyuruh menyempurnakan bilangan hari dan mengucapkan takbir kepada Allah, selesailah puasa dan datanglah bulan syawal. Apabila bulan syawal telah datang maka datang, orang beriman telah masuk ke dalam bulan haji. Pikiran orang beriman mulailah kepada ibadah haji. Kemudian diperingatkan lagi tentang harta. Kalau dahulu diperingatkan jangan memakan makanan yang tidak baik, maka sebelum melakukan haji diperingatkan supaya jangan memakan atau memakai harta benda dan pembelanjaan yang dipakai melakukan haji dengan cara yang salah. Seketika orang bertanya tentang bulan haji itu, Rasulullah telah disuruh menjawab dan menerangkan hubungan hitungan bulan dengan perhitungan ibadat-ibadat haji. Setelah itu datanglah perintah keizinan berperang untuk mempertahankan diri jika diserang musuh dalam mengerjakan haji ke Masjidil Haram. Setelah itu, barulah Allah menjelaskan tentang haji jika dalam keadaan seperti itu melalui ayat ini.[13]

Pengerjaan dam puasa 3 hari selama haji dan 7 hari selesai haji ini ditujukan kepada orang-orang yang mengerjakan haji bersenang-senang atau biasa dikenal dengan nama haji tamattu’. namun tidak hanya yang mengerjakan haji tamattu’ saja, pada haji qiran juga mngerjakannya sebagai rasa syukur telah selesai mengerjakan haji dan umrah dengan selamat.  Pengerjaan ini diwajibkan jika ia tidak mampu menyembelih seekor kambing (sekurangnya) atau 7 ekor unta umur 7 tahun (kalau mampu). Sementara puasa 3 hari selama haji dan 7 hari selesai haji tidak dilakukan bagi orang yang mengerjakan haji pada dengan cara haji ifrad[14].

Menurut Quraish Shihab[15] bahwa maksud dari “maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji” adalah wajib berpuasa sebelum wukuf di Arafah. Sebaiknya tanggal 6, 7, dan 8 Dzulhijjah, dan boleh juga setelah selesai semua amalan haji dan sebelum kembali ke kampung halaman. Pada kalimat wa sab’atin idza raja’tum (dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang) yakni kampung halaman kamu. Pada kalimat tilka ‘asyaratun kamilatun (itu adalah sepuluh (hari) yang sempurna), itulah tiga ditambah tujuh, yakni tiga hari selama di Mekkah ditambah tujuh setelah kembali ke tempat kediaman, sehingga tidak kurang nilainya daripada fidyah yang lain, serta tidak kurang pula dari pengamalan cara berhaji yang lain yang diizinkan Allah, yakni ifrad dan qiran.  Ini merupakan kewajiban membayar fidyah akibat melaksanakan haji tamattu’ bagi orang-orang yang kelarganya tidak bertempat tinggal disekitar Masjidil Haram, yang jarak antara tempat tinggalnya dan tanah haram sejauh jarak yang diperbolehkan melakukan salat safar atau sekitar 86 KM.[16]

Berkaitan ayat ini, Quraish Shihab[17] mengatakan bahwa setelah menjelaskan hukum mereka yang berjihad, khususnya dalam kaitannya dengan bulan haram yang diuraikan dalam konteks haji dan umrah, ayat berikut masih berbicara tentang hukum yang juga dituntut agar dilaksanakan pada bulan haram yang berintikan uraian mengenai haji. Bahkan ayat-ayat berikut merupakan salah satu ayat yang memerinci dengan jelas hukum haji. Ayat-ayat berikut dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya dari sisi persamaan dalam upaya jihad. Peperangan adalah jihad keluar guna memelihara umat dan agama, sedangkan haji adalah jihad kedalam jiwa untuk memelihara kepribadian dan menjalin persatuan umat. Selanjutnya tidak dapat disangkal bahwa perintah berperang pada ayat-ayat sebelumnya dimaksudkan agar kaum muslimin terhindar dari agresi yang menyebabkan mereka tidak dapat berkunjung melaksanakan haji atau umrah.

Haji dan umrah dikenal sebelum kehadiran Nabi Muhammad keduanya adalah ibadah yang diajarkan Nabi Ibrahim, beliaulah yang diperintahkan Allah mengumandang kaumnya. Tetapi sebagian dari praktik-praktik haji dan umrah ketika itu sungguh menyimpang dari tuntutan Allah yang telah disampaikan oleh bapak para Nabi itu. Disinilah Allah memerintahkan untuk menyempurnakan kedua macam ibadah itu.[18]

Al-Maraghi, menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) setelah kamu kembali, itulah sepuluh hari yang sempurna”  adalah kalimat yang ditujukan bagi seseorang yang tidak dapat melakukan korban karena tidak adanya ternak atau ia memang tidak mampu untuk membelinya. kewajiban ini dilakukan selama tiga hari pada hari-hari ia melakukan ihram sampai batas hari raya adhha (hari penyembelihan korban).[19] Wajib pula melakukan puasa selama tujuh hari apabila ia telah kembali ke tanah airnya, atau pada saat ia hendak bersiap-siap melakukan perjalanan pulang.[20]

Pembicaraan pada ayat-ayat yang telah lalu menjelaskan hukum-hukum ibadah haji dan hal itu sesudah pembicaraan tentang hukum-hukum puasa, sebab bulan haji jatuh sesudah bulan puasa. Menyusul kemudian pembicaraan tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan perang yang merupakan penjelasan susulan mengenai hukum-hukum pada bulan Muharram dan tentang Majid al-Haram. Pada ayat ini dibicarakan kembali masalah hukum-hukum ibadah haji sebagai pelengkap dari pembicaraan pada ayat-ayat yang telah lalu. Untuk itu pada awal ayat ini Allah menuturkan prihal hukum orang yang mempersempit diri. Bahwa sewaktu melakukan ihram, ia tidak boleh mencukur rambutnya sebelum korban sampai ke tempatnya. Hal ini dikecualikan bagi orang yang teserang penyakit atau kepalanya terkena luka dan lain sebagainya, maka orang iini diperbolehkan mencukur rambutnya. Dan sesudah itu ia diwajibkan berpuasa selama tiga hari atau menymbeli kambing atau memberikan sedekah sebanya satu firaq (kira-kira enam belas kati, satu kati = 617,5 gram) yang kemudian dibagikan kepada enam orang miskin. Apabila keaadan aman atau tida ada gangguan musuh, bagi orang yang telah melakukan umrah kemudian melakukan tahalul dengan tujuan melakukan haji tamattu’ sampai datang waktu haji, lalu melakuan haji dari Mekah, maka ia harus membayar dam sebab ia telah melakukan ihram haji dengan tidak melalui miqat. Apabila ia tidak mampu membayar dam, hendaklah ia melakukan masa puasa selama tiga hari selagi masih dalam ihram haji, dan ia pun harus melakukan puasa selama tujuh hari sesudah ia pulang ke negaranya, kecuali bagi orangyang rumahnmu.[21]

Dalam Tafsir Jalalain bahwa pada kalimat  tsalasati ayyami filhajji (tiga hari dalam masa haji), bahwa ia wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji yakni dalam kondisi melaksanakan ihram haji. Sehingga ia wajib memulai ihram sebelum tanggal 7 dzulhijjah yang paling utama sebelum tanggal 6 dzulhijjah, karena makruh (baginya) berpuasa pada hari arafah dan tidak boleh berpuasa pada hari-hari tasyriq, menurut pendapat yang paling shahih dari imam Asy-Syafii.[22] Pada kalimat wa sab’atin idza raja’tum (dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang) yaitu (puasa) di kampung halaman baik Mekah maupun selainnya. Namun ada yang berpendapat, setelah kamu menyelesaikan kegiatan ibadah haji.  Pada kalimat tilka ‘asyaratun kamilatun (itu adalah sepuluh (hari) yang sempurna). Kalimat ini menegaskan sebelumnya[23], yaitu penjumlahan dari puasa tiga hari pada masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang.

Ketentuan hukum tersebut yang mewajibkan kurban atau berpuasa bagi orang yang melaksanakan haji tamattu’ berlaku bagi keluarganya yang tidak berada (bermukim) pada jarak kurang dari dua pos dari tanah haram, jika ia tinggal disana menjelang bulan-bulan haji dan tidak menetap, lalu ia melaksanakan haji tamattu’ ia wajib membayar sanksi itu. Jika keluarganya berada didalam radius itu, ia tidak wajib membayar dam maupun berpuasa meskipun ia melaksanakan haji tamattu’. Ketentuan ini juga diberlakukan bagi yang melaksanakan haji qiran. Yaitu orang yang melaksanakan ihram umrah dan haji sekaligus, atau memasukkan niat haji kedalam umrah sebelum memulai thawaf.[24]

Dalam Tafsir Al-Hakam,[25] kalimat “maka wajib berpuasa tiga hari diwaktu haji dan tujuh hari apabila kamu telah kembali, itulah sepuluh hari yang sempurna” merupakan orang yang tidak sanggup membayar dam (membayar hadia karena telah mengerjakan haji tamattu’) itu hendaknya berpuasa sepuluh hari, yang tiga hari pada hari haji dan tujuh sesudah kembali.  “Tiga hari haji’ ialah selama ia berada di Mekkah atau sesudah dia melakukan ihram untuk haji, atau sehari sebelum hari tarwiyah dan sehari pada hari tarwiyah dan sehari pada hari arafah. Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, ada yang menerangkan puasanya itu hendaklah ketika dia dalam ihram untuk haji itu. “Tujuh hari apabila kamu telah kembali” artinya apabila telah kembali ke tanah air.

Pada kalimat tilka ‘asyaratun kamilatun “itu adalah sepuluh (hari) yang sempurna.” Suatu penjelasan dapat dipahamkan bahwa untuk berpuasa selama sepuluh hari itu hendaklah ada antaranya, yaitu tiga hari yang pertama dan tujuh hari yang kemudian. Jadi tidaklah sah dipuasakan terus-menerut sepuluh hari dengan tidak ada perantaranya.[26] Kesimpulan dari ayat ini adalah mengutip dari pendapat Syafii, Abu Hanifah,  perintah ini hanya dituju bagi mereka yang  bukan penduduk Mekkah dan sekitarnya sampai jarak perjalanan orang boleh salat qasar.  Serta pengerjaan haji dengan cara tamattu tidak boleh dikerjakan oleh penduduk tersebut.[27]

Adanya pernyataan tilka ‘asyaratun kamilatun (itu adalah sepuluh (hari) yang sempurna), merupakan pernyataan tiga ditambah tujuh, yakni tiga hari selama di Mekkah ditambah tujuh setelah kembali ke tempat kediaman tiga hari dalam masa haji adalah hari dalam masa mengerjakan haji.[28] Terdapat penjumlahan yang tersirat dengan variabel hari yaitu 3 hari + 7 hari = 10 hari,  sehingga wajar Abdussakir dalam bukunya Ada Matematika dalam Alquran mengungkapkan bahwa operasi bilangan dalam al-Baqarah ayat 196 tersirat makna 3 + 7 = 10.[29]

Kesimpulan yang didapat dari pendapat para mufassir bahwa operasi hitung pada penjumlahan dalam ayat tersebut menggandung maksud jumlah untuk berpuasa. Puasa yaitu menahan diri dari makan dan minum serta yang membatalkan dari mulai fajar sampai terbenam matahari. Walaupun adanya perbedaan hari antara penggunaan tanggal hijriah dimana perubahan hari adalah waktu terbenam matahari (maghrib) dan pada tanggal masehi perubahan waktu adalah tengah malam (00.01), namun tidak ada perbedaan antara hari yang dimaksudkan untuk berpuasa yaitu mulai masuk fajar sampai magbrib (terbenam matahari).

Dari tafsiran tersebut dapat kita lihat bahwa variabel (satuan) yang ada pada konsep penjumlahan operasi bilangan adalah “hari berpuasa” sehingga wajar jika tiga hari berpuasa ditambah tujuh hari berpuasa dipaparkan hasilnya dengan hasil adalah sepuluh hari berpuasa (3 hari berpuasa +7 hari berpuasa = 10 hari berpuasa).

Alquran sejalan dengan konsep matematika bahwa ketika adanya penjumlahan menggunakan variabel yang sama, dipaparkan hasil jawabannya. Namun ketika penjumlahan dengan variabel yang berbeda, Alquran tidak menjawabnya. Seperti pada ayat berikut: 

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  [30]

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Pada kalimat arba’ata asyhurin wa asyran seluruh ahli tafsir yang peneliti cantumkan dalam penelitian ini setuju mengartikan kalimat ini adalah “empat bulan dan sepuluh hari” sehingga wajar Alquran tidak mengoperasikan penjumlahan kedua bilangan tersebut, dikarenakan perbedaan variabel, yang satu bulan dan yang satu lagi hari. Andaikan ayat tersebut dilakukan penjumlahan maka haruslah disamakan satuanya, dimana setiap variabel diubah ke satuan yang dipakai, misal untuk menjumlahkan kedua bilangan tersebut menggunakan satuan bulan, maka “sepuluh dengan satuan hari” harus diubah menjadi bulan yaitu sama dengan bulan sehingga penjumlahannya menjadi

4 bulan +    bulan =  bulan setara  bulan

Jika penjumlahan tersebut menggunakan satuan hari, maka “empat dengan satuan bulan” harus diubah menjadi hari. Jika satu bulan adalah tiga puluh hari, maka empat bulan adalah seratus dua puluh hari., sehingga penjumlahannya menjadi 120 hari + 10 hari adalah 130 hari.

Kesimpulan yang didapat dari dimuatnya operasi hitung pada penjumlahan beserta  hasilnya dalam Alquran pada surah al-Baqarah ayat 196, bahwa Alquran membenarkan bilangan dan konsep operasi hitung penjumlahan yang telah ada sebelum datangnya Islam. sejak awal bangsa Arab telah mengenal matematika dengan mengatakan bahwa matematika adalah Al-Hisab (ilmu berhitung).

Operasi penjumlahan pada surah al-Baqarah ayat 196, walaupun menjumlahkan jumlah hari berpuasa, namun ayat ini berbica mengenai fikih yang berkaitan tentang pelaksanaan haji dan umrah. Dimana jumlah puasa yang jumlahkan tersebut merupakan bagian dari dam (membayar hadiah (denda)) karena melakukan haji tamatu’. Sehingga ayat ini menunjukkan bahwa ilmu matematika sejalan dengan ilmu fikih. Tidak ada dikotomi diantara keduanya.

Perintah wajib berpuasa dalam ayat ini merupakan fidyah pilihan terakhir untuk dilakukan, jika tidak mampu membeli binatang korban dan memberi makan orang miskin.  Dalam kaitannya Ayat ini juga berkaitan terhadap kehidupan saat ini, bahwa jika kita yang tinggal diIndonsia mengerjakan haji dan umrah dengan cara tamattu’ dibolehkan, namun membayar denda berupa bintang kurban, membeli makan orang miskin atau berpuasa tiga hari diwaktu haji dan tujuh hari setelah pulang dari haji.


[1] Ayat Alquran yang memuat konsep matematika opera bilangan pada penjumlahan juga terdapat pada, Qs. al-Baqarah/2:234, Qs. al-A’raf/7:142  dan Qs. al-Kahfi/18:25,

[2] Qs. al-Baqarah/2:196.

[3] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Alquran (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), h.74.

[4] Ibid, h.75.

[5] Ibid.

[6] Ririn Atika, Ayat Tersirat Alquran Al-Baqarah (Sapi Betina) (Bogor: Ardilla Books, 2010), h.263

[7] Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo Lestari, 1997), h.610

[8] Ibid, h.612.

[9] Hamka, Tafsir Al Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), jilid II, h.150.

[10] Ibid,.

[11] Ibid,.

[12] Ibid, h.144-145

[13] Ibid, h.145.

[14] Ibid, h.149

[15] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid I, h.519-522.

[16] Ibid, h.520.

[17] Ibid, h.519.

[18] Ibid, h.519

[19] Ahmad Mushthafa al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghy, Terj. Bahrun Abubakar, Tafsir Al-Maraghy (Semarang: Toha Putra, 1984), jilid II, h.181.

[20] Ibid,.

[21] Ibid, h.179

[22] Al Imam Jalaluddin Muhammad dan Al Imam Jalaluddin Abdirrahman, Tafsir al-Jalalain, Terj. Najib Junaidi, Tafsir Jalalain (Surabaya:Elba Fitrah Mandiiri Sejahtera, 2015, cet.II), jilid I, h.142.

[23]Ibid, h.143.

[24] Ibid, h.141.

[25] Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Hakam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h.65.

[26] Ibid,.

[27] Ibid, h.65-66.

[28] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., Jilid I, h.520.

[29] Abdussakkir, Ada Matematika dalam Alquran (Malang: Malang Press, 2006), h.105.

[30] Qs.al-Baqarah/2:234.

 Oleh Jamhurdin Dharma (Hara Ijam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar